Senin, 08 November 2010

PENDIDIKAN BERORIENTASI MERITOKRASI SEBAGAI BEKAL DALAM PERSAINGAN DI DUNIA KERJA



ABSTRAK


Pendidikan selalu menjadi wacana dan perbincangan yang tiada habisnya. Hal ini tidak lepas dari harapan dan tantangan yang dihadapinya. Pendidikan diharapkan mampu mencetak generasi bangsa yang unggul dalam berbagai hal. Namun tantangannya adalah bagaimana atau model pendidikan seperti apa yang mampu menjawab harapan tersebut. Dalam karya tulis ini, harapan tersebut tidak lain adalah mampu bersaingnya anak bangsa dalam persaingan di dunia kerja saat ini (di era globalisasi). Atas dasar tantangan dan harapan itulah maka perlu solusi alternatif dan segar dalam dunia pendidikan. Pendidikan berbasis meritokrasi adalah salah satunya.

Karya tulis ini secara spesifik akan menjelaskan dan menguraikan, sekaligus juga (mungkin) memperkenalkan tentang; (1) pendidikan berorientasi meritokrasi; (2) wujud persaingan di dunia kerja; (3) perbandingan pendidikan berorientasi meritokrasi dengan model lainnya; (4) dan bentuk penerapannya dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Pendidikan berorientasi meritokrasi di sini dimaksudkan adalah pendidikan yang berorientasi pada prestasi. Pendidikan berorientasi meritokrasi menjadi sebuah solusi untuk mengatasi penyakit negeri ini, yakni nepotisme, kelembaman kepemimpinan, serta yang terpenting adalah daya saing bangsa. Wujud persaingan dalam dunia kerja tersebut saat ini tidak sesederhana yang dibayangkan sebelumnya. Era globalisasi memanjangkan jangkauannya hingga titik yang tidak terduga. Persaingan di dunia kerja tak terbatas dalam wilayah lokal atau negara, tapi lintas negara. Permasalahannya menurut sejumlah penelitian serta ragam analisis, sumber daya manusia (SDM) Indonesia kalah jauh dengan negara lain, khususnya dari negara-negara di Eropa.

Perbedaan pendidikan berorientasi meritokrasi adalah penekanannya dalam pengembangan potensi yang dimiliki. Peserta didik diarahkan menuju pengembangan potensi secara maksimal, dan bukan penanaman nilai yang dipaksakan, dan tanpa mempertimbangkan kecendrungan bakat dan minat anak didik.

Namun dalam penerapannya, pendidikan berorentasi meritokrasi ini dihadapkan pada tantangan berupa mediokrasi, di mana pemuliaan potensi insani tidak berjalan. Potensi diluluhkan pada standar-standar keunggulan di segala bidang, bukan pada masing-masing potensi yang dimiliki. Diakui atau tidak, itulah yang diterapkan secara masif di tanah air tecinta kita ini.



Kata Kunci: Pendidikan, Meritokrasi, Mediokrasi, Persaingan, Dunia kerja.



Pendahuluan

Seiring tergiringnya seluruh dunia dalam kancah globalisasi, maka persaingan di dunia kerja pun kian sengit. Wacana untuk lebih mengedepankan putra-putra daerah atau putra bangsa pun kini mengalami kebuntuan. Putra-putra bangsa tersebut sering kali kalah dalam persaingan ini. Hal ini tidak bisa lepas dari kualitas yang dimiliki putra-putra bangsa tersebut. Baik skill maupun intelegensia. Dan yang paling bertanggung jawab atas kekalahan putra bangsa tersebut dalam “percaturannya” di dunia kerja adalah dunia pendidikan kita, sistem pendidikan di Indonesia.

Tidaklah berlebihan jika kita menyebut bahwa dunia pendidikan kitalah yang paling bertanggung jawab. Sebab di dunia pendidikan inilah seseorang menempa diri, mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki, yang nantinya akan sangat berguna bagi masa depannya, dalam dunia kerja. Benar-benar dikembangkan atau tidaknya potensi tersebut, tergantung pada sistem pendidikan yang dijalankan. Jika kita lihat dari realita yang ada, baik dari pengalaman kita sebagai pelaku yang sekaligus pengamat, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang dijalankan secara umum di Indonesia, yang terbingkai dalam kurikulum, belum mampu mengembangkan potensi yang dimiliki masing-masing peserta didik. Sistem pendidikan yang dijalankan hanya sampai pada tahap mencoba mencari potensi atau kecenderungan intelektual dan skill peserta didik. Inilah yang selanjutnya menyebabkan kekalahan manusia Indonesia dalam persaingan di dunia kerja, yang sebenarnya menghendaki potensi yang dimiliki tersebut berkembang secara paripurna. Seharusnya sejak dini, ragam potensi yang dimiliki oleh peserta didik mulai dikembangkan dengan cara penghargaan atas potensi, ataupun bakan dan minatnya. Bukan dengan memaksakan sistem pembelajaran serta ragam materi yang ada di dalamnya kepada peserta didik.

Pemerintah, sebagai lembaga yang berkuasa dalam penentuan kebijakan di dunia pendidikan, menyadari akan pentingnya pengembangan potensi anak didik agar kedepannya mampu menciptakan manusia-manusia unggul sehingga mampu bersaing dalam persaingan di dunia kerja. Pencanangan wajib belajar sembilan tahun, yang kini dinaikkan menjadi dua belas tahun, hingga perubahan kurikulum yang hampir terjadi tiap kali pergantian kekuasaan, mengindikasikan keseriusan sekaligus kesadaran pemerintah akan hal ini. Perubahan yang kerap dilakukan tersebut mengindikasikan bahwa sistem pendidikan yang telah diubah tersebut terdapat banyak kekurangan. Khususnya dalam pengembangan potensi peserta didik. Indikatornya jelas, masih sedikit keluaran lembaga pendidikan di Indonesia yang mampu “berbicara” lantang dalam pergaulan global, yang di dalamnya tidak lepas dari persaingan di dunia kerja. Namun banyaknya perubahan yang dilakukan ternyata masih bermuara pada satu hal, diajarkannya berbagai mata pelajaran yang kemungkinan tidak sesuai dengan potensi serta minat, bahkan juga karakter peserta didik. Dengan kata lain, perubahan tersebut berjalan stagnan. Maka, tidak mengherankan jika materi pelajaran yang awalnya diharapkan menjadi media pengembangan potensi, hanya menjadi sekedar simbolisme. Proses pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik hanya untuk memenuhi standar kelulusan, yang digunakan sebagai syarat kenaikkan kelas, ataupun untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dijadikan sebagai media bersaing untuk memperoleh peringkat terbaik berdasarkan besarnya nilai ujian, terlepas dari berkembang atau tidaknya potensi yang dimiliki.

Untuk itulah dunia pendidikan perlu merubah paradigma mediokrasinya, menuju paradigma meritokrasi. Paradigma pendidikan yang mengandaikan pengembangan potensi yang dimiliki. Peserta didik diarahkan menuju pengembangan potensi secara maksimal, dan bukan paradigma di mana pemuliaan potensi insani tidak berjalan. Potensi diluluhkan pada standar-standar keunggulan di segala bidang. Pendidikan berorientasi meritokrasi menjadi solusi atas kebuntuan sistem pendidikan di Indonesia. Memecahkan masalah utama yang dihadapi dunia pendidikan kita, pengembangan potensi. Sehingga diharapakan mampu mencetak putra-putra bangsa yang bersumber daya manusia (SDM) unggul dan mampu bersaing dalam dunia kerja. Meminjam istilah Abdul Riva’i (lahir tahun 1871), akan membentuk para “bangsawan pikiran”, yang memiliki pamor karena seberapa banyak prestasi yang diperoleh, dan bukan “bangsawan usul” yang memperoleh kehormatan dari latar belakang keturunan. Dengan pengembangan potensi secara maksimal, maka akan muncul manusia-manusia Indonesia yang mampu bersaing dalam dunia kerja saat ini, di era globalisasi.






Isi

Persaingan tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia. Dalam definisi paling kasar, persaingan merupakan area di mana beberapa kepentingan saling bertemu, umumnya dengan tujuan yang sama. Tidak terkecuali di dunia kerja. Kepentingan menurut F Budi Hardiman (2005: 83) dihasilkan dari upaya-upaya orang dalam memuaskan kebutuhannya, sedang dalam prosesnya kebetuhan tersebut saling bertabrakkan dengan pemuasan kebutuhan oleh orang lain, sedang sumber-sumber pemenuhannya sangat terbatas. Dunia kerja merupakan tempat di mana ragam orientasi kerja saling bertemu, memperoleh apresiasi dari hasil kerjanya. Jika bicara pragmatis, maka kita bekerja adalah untuk memperoleh uang. Namun mampu tidaknya seseorang bersaing, tergantung bekal skill dan intelegensia yang dimiliki. Kesemuanya ditempa dalam dunia pendidikan, di sekolah. Hal ini bukan berarti menyempitkan ruang lingkup pendidikan, bahwa pendidikan berlangsung di manapun, atau seperti yang diungkapkan Langeveld (dalam Burhanuddin Salam, 1997: 3) bahwa pendidikan adalah bimbingan oleh orang dewasa kepada yang kurang dewasa agar mencapai kedewasaan. Akan tetapi dalam realitasnya, saat ini pendidikan memang cenderung diidentikkan dengan sekolah. Out put dari lembaga pendidikanlah yang memang diberdayakan untuk bekal di dunia kerja. Untuk itu dalam dunia pendidikan perlu ada sistem yang mengantarkan ke arah sana. Pendidikan berorientasi meritokrasi menurut saya yang paling tepat, karena sifatnya yang memanusiakan manusia.



Pendidikan Berorientasi Meritokrasi; Memanusiakan Manusia

Reformasi yang mengandaikan perubahan sistem yang telah usang dan cenderung merugikan belum menyentuh ranah pendidikan secara menyeluruh. Mungkin hanya sebatas reformasi sistem birokrasinya. Krisis multidimensi yang coba dilerai oleh reformasi belum menunjukkan arah baru, kemana dan bagaimana pendidikan yang seharusnya. Atau pertanyaan filosofisnya, apa dan untuk apa pendidikan itu? Pasca reformasi, belum ada jawaban jelas mengenai pertanyaan mendasar tersebut. Belum ada perubahan mendasar model pendidikan sebelum dan sesudah reformasi, walaupun kurikulum telah sering berganti. Pendidikan yang seharusnya disesuaikan dan mampu menjawab perubahan, kehilangan –jika tidak ingin dikatakan belum menemukan- landasan dan orientasinya. Pendidikan di Indonesia belum memiliki kiblat dan paradigma baru. Dalam analisis H.A.R. Tilaar (1999: 176) pendidikan pada era reformasi ini belum menununjang jiwa reformasi, yaitu yang menginginkan masyarakat demokrasi, masyarakat terbuka, dan masyarakat yang berdasar merit (prestasi).

Masyarakat umum mungkin tak terlalu dipusingkan dengan hal ini. Masyarakat mempunyai kecendrungan positif terhadap lembaga pendidikan. Masyarakat tak sinis hanya karena pendidikan di Indonesia memiliki orientasi yang kabur. Mereka terlanjur manaruh harapan lebih, dan lebih melihat out put lembaga pendidikan dari pada menimbang ragam gejolak di dunia pendidikan. Masyarakat menilai bahwa luaran lembaga pendidikan lebih baik dari mereka (masyarakat). Para akademisi, dalam hal ini manusia-manusia yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan, diharapkan oleh masyarakat mampu membantu memecahkan permasalahan yang ada. Kaum akademisi yang identik dengan tradisi ilmiah, oleh masyarakat dianggap serba tahu, atau minimal lebih tahu dari mereka yang tidak pernah sekolah, atau yang mengenyam jenjang pendidikan yang lebih rendah. Mampu diberdayakan ragam ilmu yang didapat di lembaga pendidikan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi harapan besar masyarakat. Para akademisi tidak hanya sibuk dalam dunianya sendiri, terkungkung dalam wacana-wacana yang “melangit”, namun juga harus bisa menapak bumi. Bagaimana ilmu yang didapat benar-benar diaplikasikan in social life. Inilah beban berat yang harus diemban oleh dunia pendidikan, sertidaknya dalam pandangan masyarakat umum.

Namun akan lebih global lagi jika bicara tujuan pendidikan dalam konteks nasional. Secara umum tujuan diselenggarakannya proses pendidikan adalah mencerdaskan anak bangsa. Cerdas di sini tentu bukanlah sesuatu yang bisa diisi ulang atau diinstal secara sembarangan menurut kemauan, bahkan berdasarkan atau demi kepentingan-kepentingan tertentu. Karena manusia telah memiliki potensi masing-masing yang sifatnya unik. Tujuan pertama dan utama dari pendidikan adalah pengembangan segala potensi yang ada dalam diri individu (peserta didik, akademisi) secara maksimal. Di sinilah pendidikan yang memanusiakan manusia harus memperoleh tempatnya, pendidikan yang berorientasi meritokrasi. Pendidikan yang memanusiakan manusia mengandaikan sebuah proses pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Artinya pendidikan yang benar-benar memandang peserta didik sebagai manusia yang memiliki sifat unik, yang memiliki “takdir” budaya, intelegensia serta potensi yang berbeda. Dalam hal ini memandang peserta didik sebagai individu yang berdiri sendiri dan hidup secara sosial. Pendidikan yang humanis tidak memandang seorang peserta didik sama dalam segala hal dengan peserta didik lainnya. Menyeragamkan persepsi kepada peserta didik berarti menolak “takdir” bahwa manusia itu unik. Dalam bahasa yang ekstrim, penyeragaman ini berarti mendehumanisasikan dan mendepersonalisakan peserta didik. Berawal dari penyeragaman ini maka niatan untuk pengembangan potensi peserta didik secara purna juga akan diseragamkan. Segala materi diberikan dengan beban yang sama, tanpa mempertimbangkan potensi, bakat dan minat peserta didik yang unik. Yudi Latif (2009: 89), mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan adalah kesadaran seseorang akan potensi dan kapasitasnya yang khas yang membedakan dirinya dari orang lain. Sehingga aktualisasinya dalam proses pendidikan adalah pemupukan keandalan khusus seseorang yang memungkinkannya memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup. Keandalan bagi tiap individu memiliki ciri khas masing-masing, sebab berkaitan erat dengan optimalisasi potensi kemanusiaan yang juga unik. Di sinilah pendidikan yang memanusiakan manusia teraktualisasikan. Peneguhan sistem meritokrasi yang sangat memuliakan ragam intelegensia peserta didik. Bukan meluluhkannya dengan standar-standar tertentu. Pada akhirnya perekrutan sumber daya manusia di segala bidang tidak lagi mengandalkan pada keturunan seperti dalam Aristokrasi, layaknya para bangsawan dan lainnya; tidak juga pada kekayaan bawaan seperti dalam plutokrasi; tapi berjejak pada prestasi (merit) warga negara dalam berbagai bidang. Sistem demokrasi yang dianut di negara ini sebenarnya menghendaki sistem rekrutmen sumber daya manusia berdasarkan meritokrasi ini. Yang dibutuhkan adalah para “bangsawan pikir”, para bangsawan yang “darah birunya” dibentuk berdasar seberapa banyak dan hebat prestasi dan capaian yang telah diperoleh; dan bukan para “bangsawan usul” yang tak mengindahkan pengembangan potensi, yang hanya peroleh “nama” dari asal usul keturunannya. Pada akhirnya pendidikan dengan orientasi meritokrasi menciptakan sebuah iklim keadilan kemanusiaan. Memanusiakan manusia yang diemban oleh pendidikan dengan orientasi meritokrasi ini tak hanya sebatas prosesnya, tapi juga hasilnya, meninggikan harkat dan martabat insani, yang aktualisasinya adalah berkembangnya potensi yang dimiliki tiap individu. Sasaran pendidikan adalah manusia (demikian tulis Umar Tirtaraharja, 2000: 1), sehingga pendidikan bermaksud menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya.

Akan tetapi pendidikan berorientasi meritokrasi ini memperolah momentum perlawanannya dari fenomena mediokrasi. Wujudnya berupa peluluhan standar-standar keunggulan di segala bidang demi memberi tempat yang luas bagi orang rata-rata, tanpa memperhatikan, bahkan cenderung mangabaikan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Materi yang diberikan tak lebih dari pemaksaan standar-standar kompetensi, sebab pengabaiannya pada potensi dan minat peserta didik. Pendidikan berorientasi mediokrasi hanya sampai pada tahap meraba-raba potensi yang dimiliki peserta didik dan cenderung terhenti pada tahap ini. Orientasi kelas sebagai percabangan orientasi mediokrasi akan terhenti saat prosesi di dalam kelas usai, tanpa adanya pemberdayaan lebih lanjut oleh peserta didik sendiri, sebab materi hanya sebagai ajang pemenuhan kelulusan, bukan pengembangan potensi diri. Niatan pengembangan dan pemberdayaan potensi insani anak didik cenderung hanya sampai pada tahap penemuan.

Sebagai antagonis dari pendidikan berorientasi meritokrasi, pendidikan dengan orientasi mediokrasi tak menemukan titik pemanusian manusia. diskriminasi atas dasar intelegensia juga sangat kentara di sini. Tidak dibebaskannya peserta didik untuk memilih mata pelajaran yang disesuaikan dengan potensi dan minat, sistem penjurusan hingga ujian nasional dibuat dengan menempatkan keunggulan hanya dalam bidang tertentu. Dan penguasaan terhadap itu sebagai ukuran utama untuk menempatkan peserta didik sebagai siswa pintar, cerdas dan seterusnya. Pluralitas budaya dengan segala pluralitas potensi dan prefensi kemanusiaannya diabaikan oleh sentralisasi birokrasi pendidikan. Sentralisasi yang mengkonsep pendidikan jauh dari realitas kondisi sosial-budaya masyarakat, di mana potensi peserta didik tukul dan berkembang. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, sistem pendidikan seperti inilah yang tengah dijalankan di Indonesia. Arus demokratisasi yang berhembus bersama era reformasi tidak berjalan seiring dengan meritokrasi, sebaliknya searah dengan mediokrasi. Pendidikan yang cenderung dipaksakan ini menjadi salah satu masalah terbesar pendidikan di Indonesia.

Kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik dan menekankan uniformitas (keseragaman), yang mengakibatkan beban kurikulum serba seragam dan over loaded. (Azyumardi Azra, 2002: xvi). Kebijakan seperti ini memberikan ruang yang sangat sempit bagi pengembangan pendidikan dan kontekstualisasinya. Karena sebenarnya pendidikan terikat ruang dan waktu. Proses pendidikan yang dijalankan relevan dan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya dan ekonomi; dan selaras pula dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.

Kebijakan pendidikan yang cenderung menyeragamkan dan sempit tersebut apabila tetap dijalankan, akan menuai efek negatif yang harus dibayar mahal. Pendidikan akan gagal dalam menjawab dan merespon realitas yang berkembang di masyarakat, umumnya masyarakat global. Lebih jauh lagi, pendidikan hanya akan memperbanyak jumlah pengangguran, bukan penyiapan tenaga-tenaga kerja yang tangguh dalam persaingan di dunia kerja.


Penerapan Pendidikan Beorientasi Meritokrasi; Sekolah Sebagai Media Pengembangan

Sampai pada titik ini, maka muncul pertanyaan, jika pendidikan berorientasi meritokrasi merupakan solusi cerdas, bagaimana penerapannya di lembaga pendidikan (sekolah)?

Orientasi pendidikan yang memuliakan ragam intelegensia memang mengandung konsekuensi bagi dunia pendidikan yang tengah dijalankan, sebab cenderung bertentangan. Pertama yang harus dilakukan adalah merubah pemahaman akan kualitas peserta didik. Perlu ada dekonstruksi alur pikir bahwa tidak ada manusia (siswa) sampah dan bodoh. Atau siswa ini pintar dan yang itu bodoh. “Yang ada adalah (tulis Yudi Latif, 2009: 92) setiap siswa memiliki potensi intelegensia dan karakter yang berbeda-beda”.

Atas dasar perbedaan potensi intelegensia ini maka perlu ada perubahan sistem pengajaran dari sekolah berorientasi kelas yang selama ini dilakoni, menuju sekolah berorientasi individu. Bukan melihat peserta didik sebagai kerumunan dalam satu kelas yang memiliki potensi sama, akan tetapi memandanganya sebagai pribadi yang memiliki keandalan tertentu. Kurikulum inti dibuat terbatas untuk memberi keleluasaan peserta didik untuk mengambil mata pelajaran pilihan sesuai dengan potensi dan minatnya.

Lebih lanjut fungsi guru nantinya akan bergeser dari peran purbanya, dari yang hanya mengajar, juga menjadi penilai untuk memantau potensi dan kecendrungan masing-masing individu siswa; selanjutnya berperan sebagai perantara kurikulum yang membantu siswa memilih mata pelajaran; dan sekaligus menjadi perantara yang menghubungkan siswa dengan komunitas yang lebih luas guna mendapatkan pengalaman belajar langsung dari dunia nyata. Guru di sini diberi kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam proses pengajaran.

Pendidikan alternatif Qoryah Toyyibah layak menjadi contoh dalam hal ini. Setidaknya ada dua hal yang menarik sekaligus penting yang dipraktekkan dalam pendidikan alternatif ini, yakni menekankan pada dua hal; pertama, menekankan goals setting pada basis potensi anak dengan memberikan kebebasan intelegensia anak. Sejak awal masuk setiap anak diberikan kebebasan ruang kreatifitas, serta wadah akses yang sangat optimal; kedua, dalam hal kurikulum menggunakan KBK (kurikulum berbasis kebutuhan), utamanya terkait dengan sumber daya lokal yang tersedia. Belajar adalah bagaimana menjawab kebutuhan akan pengelolaan sekaligus penguatan daya dukung sumber daya yang tersedia untuk menjaga kelestarian serta memperbaiki kehidupan. (Ahmad Bahruddin, 2007: vii-xiv).

Pendidikan yang demokratis berlangsung di lembaga pendidikan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan niat, bakat, dan kemampuan anak didik. Bukan memaksakan diri untuk mempelajari pelajaran karena terkungkung oleh sistem. Dengan sistem demokratis yang demikian, maka belajar bukan lagi menjadi hal yang menakutkan, tapi sebaliknya menyenangkan karena siswa menganggapnya sebagai sebuah kebutuhan, bukan kewajiban. “untuk itu (demikian tulis Harold O. Rugg) kehidupan dan program sekolah harus dirancang langsung dari kebudayaan masyarakat, bukan dari kurikulum klasik. Sekarang bukan saatnya membangun seklah yang berpusat pada mata pelajaran, tapi sekolah yang benar-benar berpusat pada masyarakat dan berpusat pada anak”. (ed. Joy A. Palmer, 2003: 20).

Kemampuan siswa Qoryah Toyyibah tersebut ternyata tidak kalah dibanding siswa sekolah biasa, bahkan favorit. Salah satu siswanya, Rasih, pernah diundang oleh PT. Agril Bengkulu untuk menjadi fasilitator dalam sebuah metode pembelajaran. Remaja ini juga pernah diminta berpidato di depan sekitar 90 kepala sekolah berprestasi se-Indonesia. (Ahmad Bahruddin, 2007: 217). Hal ini sekaligus sebagai tanda bahwa pendidikan memang bisa mengantarkan seseorang sukses atau tidak dalam persaingan di dunia kerja. Pengalaman salah satu siswa ini membuktikkan bahwa dunia kerja memang mencari orang-orang yang juga sukses dalam proses pendidikan, dan sistem pendidikan yang mengantarkannya.

Pada akhirnya, sistem pendidikan, dan sekolah pada khususnya di masa depan dituntut untuk lebih menghargai keunikan dan otonomi individu serta mengembangkan iklim yang kondusif bagi pembentukan konsep diri yang positif. Pemuliaan terhadap aneka intelegensia dan pengembangan konsep diri yang positif ini bisa mendorong lahirnya manusia unggul di segala bidang dengan prestasi dan karakter yang tangguh, yakni manusia yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. Khususnya persaingan di dunia kerja. Dunia kerja bukan hanya area pragmatis tapi di dalamnya juga sebagai ajang pemberdayaan keilmuan, ajang persaingan manusia unggul.

Pendidikan berorientasi meritokrasi bukan hanya sampai pada tataran ini. Pendidikan meritokrasi yang mengadaikan sebuah proses pengembangan potensi bukan hanya sampai pada penghargaan potensi dan keragaman intelektual, tapi juga menyangkut ragam keterampilan (skill). Peserta didik yang “nol” dalam literasi, maupun tradisi ilmiah, tapi memiliki potensi dalam kesenian, olah raga dan lainnya, maka potensi tersebut juga dikembangkan. Sekolah harus memfasilitasi untuk pengembangan potensi tersebut.

Di sinilah mengapa Yudi Latif pernah mengatakan bahwa “tidak ada siswa yang bodoh”, karena mereka memiliki potensi yang unik, memiliki keandalan yang berbeda dan harus dikembangkan. Semuanya mengarah kearah persiapanya dalam persaingan di dunia kerja. Kerena dunia kerja tak hanya tempat “bersemayam” bagi mereka yang bekerja dengan keandalan pikiran.


Persaingan di Dunia Kerja; Area Manusia Unggul

Banyak motif dan tujuan seseorang mengenyam sebuah pendidikan. Namun tidaklah berlebihan jika saya sebut semuanya bermuara pada satu tujuan, memperoleh pekerjaan. Ragam potensi yang telah dikembangkan, kesemuanya akan memperoleh “takdir” indahnya, jika potensi tersebut telah bisa dimanfaatkan di dunia kerja.

Pemberdayaan potensi akan memperoleh tempat apresiasi di dunia kerja. Namun dunia kerja tidak membutuhkan orang biasa, tapi punya keunggulan tertentu. Sebab dunia kerja merupakan area persaingan. Area di mana seseorang berupaya dalam memuaskan kebutuhannya, sedang dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut saling bertabrakkan dengan pemuasan kebutuhan oleh orang lain, sedang sumber-sumber pemenuhannya sangat terbatas. Jika seseorang tidak dibekali keandalan, maka ia akan terseleksi dengan sendirinya, kalah dalam persaingan tersebut.

Persaingan di dunia kerja di sini tentu merupakan persaingan sebagai “tenaga ahli”. Artinya, modal utama yang digunakan adalah intelegensia dan kreatifitas, bukan sebagai pekerja kasar (buruh). Inilah wujud persaingan di dunia kerja. Dan yang menjadi problem adalah bagaimana manusia Indonesia mampu menduduki kursi penting dalam perusahaan nasional, bahkan internasional. Dan akan lebih luar biasa lagi jika mampu berwirausaha dengan porspek yang lebih menjanjikan.

Saya pikir semuanya bisa ditempa melalui proses pendidikan di lembaga pendidikan. Namun syaratnya, lembaga pendidikan tersebut harus benar-benar mampu mengembangkan potensi insani peserta didik. Akan jauh lebih efektif dan lebih matang jika sistem pendidikannya berorientasi pada pengembangan potensi. Dengan dasar “takdir” alamiah (sunnatullah, dalam istilah Islam), serta telah berhasil dikembangkan, maka akan menjadi manusia unggul dalam suatu bidang (sesuai dengan potensinya).

Kebutuhan di dunia kerja tak hanya pada sampai pada tataran ini. Dunia kerja di mana manusia bekerja dan minimal memperoleh upah tak hanya untuk manusia yang unggul dalam intelektual semata, namun dunia kerja adalah bagi mereka yang punya keahlian (skill). Dunia kerja bukan hanya di kantor-kantor, tapi semua tempat dan “dunia” di mana seseorang minimal memperoleh upah. Di lapangan (sepak bola profesional) misalnya, juga termasuk dunia kerja. Dan lembaga pendidikan harus bisa memfasilitasinya. Jika ada seorang anak didik yang berbakat dalam sepak bola, maka ia harus difasilitasi sehingga berkembang hingga menjadi pemain sepak bola profesional. Pendidikan yang berorientasi meritokrasi menjadi jalan untuk pengembangan ini.

Kegagalan dalam pengembangan potensi tersebut berarti tetap mengurung bahkan mengubur dalam-dalam potensi yang ada. Potensi tak memperoleh momen pengembangaannya, yang selanjutnya juga akan kehilanagn kesempatan untuk memberdayakannya di dunia kerja. Akibat terburuk, putra-putri bangsa menjadi “buruh” di negaranya sendiri. Diakui atau tidak, hal ini sudah terjadi. Faktanya jelas, kita akan lebih percaya jika yang berbicara atau yang menangani suatu proyek adalah tenaga ahli asing. Hal ini bukan sekedar terbawa kultur westernisasi, barat sebagai kiblat peradaban, tapi dalam prakteknya mereka memang memiliki kualitas lebih baik. Dan “orang” Indonesia hanya sebagai tenaga kasar, bawahan, buruh.

Pemerintah sebenarnya telah menyadari ketatnya persaingan di dunia kerja ini. Untuk itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, visi pembangunan nasional tahun 2005 - 2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Visi pembangunan nasional tersebut dapat diwujudkan melalui dua dari delapan misi pembangunan nasional, yaitu: 1) mewujudkan bangsa yang berdaya saing, dan 2) mewujudkan pembangungan yang merata dan berkeadilan. (www.penyelarasan.kemdiknas.go.id, diposting Januari 2010).

Berkaitan dengan visi dan misi di atas, sebenarnya telah dilakukan berbagai upaya untuk memberikan pendidikan yang bermutu, salah satunya melalui pengembangan standar nasional pendidikan. Namun berbagai upaya tersebut masih belum mencapai hasil yang optimal karena masih banyak lulusan dari berbagai jenjang pendidikan yang belum terserap dalam dunia kerja atau mampu untuk berwirausaha. Salah satu yang menyebabkannya adalah karena sistem pendidikan hanya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan relevan dengan dunia kerja. Sehingga tindakan yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah memberikan latihan dan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil.(Tadjuddin Noer Effendi, 1995: 5). Hal ini menjadi bukti bahwa pendidikan memang bertanggung jawab atas bisa tidaknya manusia Indonesia bersaing di dunia kerja.

Menyusun program penguatan relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja menjadi penting. Dan bukan pendidikan yang mengungkung kreatifitas dan potensi anak didik, sebaliknya, pendidikan yang mampu memberdayakannya. Bagaimanapun pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja merupakan kegiatan membimbing (bukan memaksa) peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan dan ketrampilan kerja. Menitikberatkan pada pembekalan kompetensi lulusan yang selaras dengan kebutuhan di dunia kerja. Sehingga mampu terbentuk sumber daya manusia yang siap kerja atau dapat menciptakan kerja serta mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, nasional maupun internasional. Dan akan lebihefektif dan memanusiakan manusia jika pendidikan mengembangkan potensi individu, bukan menjejali dengan ragam ilmu yang dipaksakan, tidak berdasarkan bakat dan minat, bertolak dari orientasi meritokrasi. Pendidikan alternatif Qaryah Tayyibah menjadi bukti kuat bagaimana pendidikan berorientasi meritokrasi mampu menjawab tantangan di dunia kerja saat ini. Bukan para lulusan yang mencari kerja, tapi dunia kerja yang mencari mereka. Mereka yang potensinya telah terkembangkan sehingga menjadi manusia yang unik, yang punya keunggulan.

http://blog.beswandjarum.com/adipurnomo/pendidikan-berorientasi-meritokrasi-sebagai-bekal-dalam-persaingan-di-dunia-kerja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar